Aku menanggung dosa besar di hadapan Sang Hyang Widhi dan manusia-manusia ini. Mungkin injakan kakiku di atas debu tanah ini pun telah membuat kekotoran yang tak terampuni.
Kutatap Pura Besakih yang menyentuh angkasa di hadapanku.
Kusadari bahwa kakiku gemetar. Bukan, bukan karena guci keramik ini berat. Guci ini kecil saja; polos tanpa hiasan, dari tanah liat sederhana, ditutup dengan kain biru yang terikat tali putih. Tanpa tulisan, tanpa penanda apapun.
Aku menatap Topan yang berdiri tepat di sisiku. Matanya yang selalu cerah balas menatapku. Ia tersenyum; hal yang sudah diulang-ulanginya untuk kesekian ratus kali hari ini.
“Aku tahu kamu bisa,” senyumnya ia terjemahkan dalam kata. “Atau mau latihan dulu, mungkin? Itu di pojokan sana? Aku mau deh jadi lawannya..” Matanya bersinar jenaka.
Aku balas tersenyum. “Udah kok, cukup latihannya. Kok kasian kamu yang repot..”
“For you, dear.” Topan membelai punggungku dengan tangannya yang lebar.
Aku menghela napas. Langkah yang harus diambil telah tiba waktunya untuk diambil.
For you, my dear.
***
Lelaki itu bertampang kasar. Rambutnya yang pirang terurai sedagu, berkibar oleh angin malam dan gerakan tubuhnya sendiri yang liar. Dadanya nyaris telanjang, kalau bukan karena kemeja bunga-bunga yang dipakainya serampangan. Matanya berkabut, dan angin malam menguarkan aroma alkohol dari napasnya. But, damn, he’s hot.
Ia duduk di sisiku, sebelah tangan menggenggam botol Jack Daniels dan yang sebelah lagi bertengger di bahuku. Dekat pada dadaku. Lokasi yang aku tahu persis telah menjadi sasaran pandangan matanya sejak tadi.
“And you. Are. Beautiful. Yeah…,” katanya padaku. Bahasa Inggrisnya berturbulensi karena otaknya yang mabuk. But, well, aku tahu persis apa yang dia mau.
Kuhisap rokok mentolku dalam-dalam. “Oh, is that true?”
Lelaki itu tertawa keras. Tangan kirinya melambaikan botol bir itu ke udara. “This chick is awesome, do ya’ understand?” serunya keras. Dari sekitar meja terdengar tawa dan gumaman menyetujui dari para pejantan pirang lainnya.
Malam sudah larut. Aku tak bisa menunggu hingga bule ini lebih mabuk lagi; bisa-bisa ia hanya akan terkapar pingsan and give me nothing.
Dengan lincah aku bangkit dari tempat dudukku dan menghempaskan diri ke pangkuannya. Kugenggam kedua sisi kepalanya dengan kedua tanganku, kutatap matanya lekat-lekat hingga hidung kami bersentuhan. Kuhembuskan asap rokok mentolku perlahan ke wajahnya.
“So.. shall we dance?” bisikku.
Malam itu adalah malam tarian terpanas dalam hidupku.
***
Wanita itu telah menunggu di muka gerbang Besakih.
Topan meremas bahuku perlahan. Menyemangatiku.
Sekarang barulah guci kecil itu menampakkan beban. Beban hati. Meskipun tak perlu lagi hal itu kuucapkan, tentu; apabila hatiku tak berbeban padaNya, tak mungkin aku akan berada di sini dan melakukan hal ini.
Kulangkahkan kakiku perlahan-lahan. Lurus saja, menuju wanita berkebaya putih dan berkain batik dengan tanda di dahinya. Kubisikkan perlahan-lahan perpisahanku pada beban yang kubawa, kubisikkan bahwa aku mengasihinya meski apapun yang telah terjadi, dan aku berharap kelam yang kuperbuat tak akan lagi menodainya.
Wanita itu tersenyum. Diterimanya guciku dengan hati-hati.
“Jadi mau disebarkan di sekitar pura?”
“Jadi, biyang,” jawabku.
Wanita itu mengangguk. “Semoga Sang Hyang Widhi selalu memberkahimu,” katanya. Lalu ia berlalu.
Sedetik kemudian, Topan sudah berada di belakangku lagi. Aku menghela napas saat menatapnya. Mataku berkaca-kaca. Topan merengkuh bahuku, cincin di jari manisnya menggesek kain bajuku. Cincin yang mengikatnya kepadaku dan aku kepadanya, tiga tahun setelah abu kenanganmu memasuki guci itu. Tiga tahun setelah kuputus kehidupanmu dari rahimku.
“Kalau dia sempat lihat dunia, kalau aku ga semena-mena motong garis kehidupan dia.. mungkin sekarang dia bisa jadi artis ya, Topan? Rambutnya pasti blonde, kulitnya putih, badannya tinggi..”
“Sssshh.” Topan mengelus rambutku. “Dia tahu kok kamu sayang sama dia. Aku juga sayang sama dia, meskipun belum pernah ketemu dia.”
“Aku sayang kamu, Topan. Makasih udah mau terima aku, dan dia..”
“Ya, Desak. Aku juga sayang kamu.”
TAMAT