Memori Tentangmu – hari 12 #15HariNgeblogFF2

            Aku menanggung dosa besar di hadapan Sang Hyang Widhi dan manusia-manusia ini. Mungkin injakan kakiku di atas debu tanah ini pun telah membuat kekotoran yang tak terampuni.
                Kutatap Pura Besakih yang menyentuh angkasa di hadapanku.
                Kusadari bahwa kakiku gemetar. Bukan, bukan karena guci keramik ini berat. Guci ini kecil saja; polos tanpa hiasan, dari tanah liat sederhana, ditutup dengan kain biru yang terikat tali putih. Tanpa tulisan, tanpa penanda apapun.
                Aku menatap Topan yang berdiri tepat di sisiku. Matanya yang selalu cerah balas menatapku. Ia tersenyum; hal yang sudah diulang-ulanginya untuk kesekian ratus kali hari ini.
                “Aku tahu kamu bisa,” senyumnya ia terjemahkan dalam kata. “Atau mau latihan dulu, mungkin? Itu di pojokan sana? Aku mau deh jadi lawannya..” Matanya bersinar jenaka.
                Aku balas tersenyum. “Udah kok, cukup latihannya. Kok kasian kamu yang repot..”
                “For you, dear.” Topan membelai punggungku dengan tangannya yang lebar.
                Aku menghela napas. Langkah yang harus diambil telah tiba waktunya untuk diambil.
                For you, my dear.
***
                Lelaki itu bertampang kasar. Rambutnya yang pirang terurai sedagu, berkibar oleh angin malam dan gerakan tubuhnya sendiri yang liar. Dadanya nyaris telanjang, kalau bukan karena kemeja bunga-bunga yang dipakainya serampangan. Matanya berkabut, dan angin malam menguarkan aroma alkohol dari napasnya. But, damn, he’s hot.
            Ia duduk di sisiku, sebelah tangan menggenggam botol Jack Daniels dan yang sebelah lagi bertengger di bahuku. Dekat pada dadaku. Lokasi yang aku tahu persis telah menjadi sasaran pandangan matanya sejak tadi.
          “And you. Are. Beautiful. Yeah…, katanya padaku. Bahasa Inggrisnya berturbulensi karena otaknya yang mabuk. But, well, aku tahu persis apa yang dia mau.
Kuhisap rokok mentolku dalam-dalam. “Oh, is that true?
Lelaki itu tertawa keras. Tangan kirinya melambaikan botol bir itu ke udara. “This chick is awesome, do ya’ understand?” serunya keras. Dari sekitar meja terdengar tawa dan gumaman menyetujui dari para pejantan pirang lainnya.
Malam sudah larut. Aku tak bisa menunggu hingga bule ini lebih mabuk lagi; bisa-bisa ia hanya akan terkapar pingsan and give me nothing.
Dengan lincah aku bangkit dari tempat dudukku dan menghempaskan diri ke pangkuannya. Kugenggam kedua sisi kepalanya dengan kedua tanganku, kutatap matanya lekat-lekat hingga hidung kami bersentuhan. Kuhembuskan asap rokok mentolku perlahan ke wajahnya.
So.. shall we dance?” bisikku.
Malam itu adalah malam tarian terpanas dalam hidupku.
***
                Wanita itu telah menunggu di muka gerbang Besakih.
                Topan meremas bahuku perlahan. Menyemangatiku.
                Sekarang barulah guci kecil itu menampakkan beban. Beban hati. Meskipun tak perlu lagi hal itu kuucapkan, tentu; apabila hatiku tak berbeban padaNya, tak mungkin aku akan berada di sini dan melakukan hal ini.
                Kulangkahkan kakiku perlahan-lahan. Lurus saja, menuju wanita berkebaya putih dan berkain batik dengan tanda di dahinya. Kubisikkan perlahan-lahan perpisahanku pada beban yang kubawa, kubisikkan bahwa aku mengasihinya meski apapun yang telah terjadi, dan aku berharap kelam yang kuperbuat tak akan lagi menodainya.
                Wanita itu tersenyum. Diterimanya guciku dengan hati-hati.
                “Jadi mau disebarkan di sekitar pura?”
                “Jadi, biyang,” jawabku.
                Wanita itu mengangguk. “Semoga Sang Hyang Widhi selalu memberkahimu,” katanya. Lalu ia berlalu.
               Sedetik kemudian, Topan sudah berada di belakangku lagi. Aku menghela napas saat menatapnya. Mataku berkaca-kaca. Topan merengkuh bahuku, cincin di jari manisnya menggesek kain bajuku. Cincin yang mengikatnya kepadaku dan aku kepadanya, tiga tahun setelah abu kenanganmu memasuki guci itu. Tiga tahun setelah kuputus kehidupanmu dari rahimku.
                “Kalau dia sempat lihat dunia, kalau aku ga semena-mena motong garis kehidupan dia.. mungkin sekarang dia bisa jadi artis ya, Topan? Rambutnya pasti blonde, kulitnya putih, badannya tinggi..”
                “Sssshh.” Topan mengelus rambutku. “Dia tahu kok kamu sayang sama dia. Aku juga sayang sama dia, meskipun belum pernah ketemu dia.”
                “Aku sayang kamu, Topan. Makasih udah mau terima aku, dan dia..”
                “Ya, Desak. Aku juga sayang kamu.”
TAMAT

Payung Merah Jambu – #FFLombok


        Ya, aku pelacur. Ya, aku berpenyakit. Ya, aku punya AIDS.
       Sekarang, berhenti menatapku dengan cara seperti itu dan alihkan pandangan jahanammu ke tempat lain.
        Aku tidak menginginkan belas kasihanmu. Aku tak butuh itu. Seperti ketika tak ada seorang pun yang peduli saat aku kedinginan di pinggir jalan, melambai menyedihkan pada mobil-mobil yang lewat; sebesar itulah kemungkinan akan ada orang yang repot-repot peduli padaku sekarang.
        Pantai merah muda Tangsi. Lombok. Sedikit gerumbul kenangan manis dalam hidupku yang seperti jelaga. Aku ingat saat kaki-kaki gadis lugu berusia sebelas tahun berlari di atas hamparan pasir ini. Meneriakkan lagunya pada angin, menikmati balasannya yang seperti belaian pada pipiku.
        Ah, masa-masa bagai mimpi.
        Kurapatkan kain tipis yang menyelimuti lenganku yang kurus. Virus itu sudah mulai bersenang-senang dalam cairan sel-sel pertahanan tubuhku. Dulu, aku meratui malam. Sekarang, sedikit tusukan angin sudah menggetarkan badanku. Sungguh menyedihkan.
        “Dingin?”
        Itu Kama, lelaki yang sedang berdiri di sampingku. Sepotong lagi gerumbul manis yang telah lama berlalu.
        “Nggak.”
        “Kok pake payung?”
        “Sekarang siang bolong. Masih tanya kenapa pake payung?”
        Kama terdiam sejenak. “Laper nggak?”
        Aku berbalik menatapnya. “Lo nggak punya urusan lain? Apa kek gitu?”
        Kama hanya mengangkat bahu, balas menatapku dengan matanya yang lebar. Mata itu masih sama dengan dua belas tahun lalu, saat aku berlari-lari bersamanya di pantai ini, mengotori seragam putih biru kami dengan pasir basah.
        “Yah, udah berapa tahun kita nggak ketemu, kan? Sekarang akhirnya kamu pulang, dan aku pikir nggak ada salahnya kalo kita menghabiskan waktu bareng lagi,” Kama tersenyum lebar. “Aku bisa bikin kamu ketawa lagi!”
        Pria bodoh. Mengapa dia tidak bisa mengerti? Jadilah seperti pria-pria lain; balikkan badanmu, menjauhlah.
        “Kamu masih cantik, lho, Sen.”
        “Bullshit.
        ‘Enggak, bener. Cuma sedikit kekurusan, itu aja kok. Kita makan ayamnya Bu Mar yuk? Masih sama lho rasanya kayak dulu.”
        PLAKKK!
        Telapak tanganku mendarat pada wajahnya. Payung hitamku terjatuh ke atas pasir, memantul pada kaki Kama.
Perlahan, Kama mengalihkan tatapannya kembali kepadaku.
        “Pergi,” bisikku. “Jangan deket-deket gue lagi.”
        “Sen…”
        “Semua orang nggak peduli sama gue, Kam. Nggak ada yang repot-repot berurusan sama gue. Oh ya, kecuali kalo mereka mau ngentot sama gue!”
“Sen…”
“Atau mungkin lo mau gituan juga sama gue, Kam? Gue sih mau aja yah, selama lo bisa bayar. Oh, sori gue lupa, GUE KENA AIDS!”
“SENNA!”
Aku menarik napas panjang. Angin masih bertiup, ombak masih berdebur. Semuanya masih tetap sama acuhnya.
“Gue bakal mati, Kam. Sesederhana itu.”
Kama tidak menjawab. Ia malah membungkuk dan memungut payung hitamku dari pasir. Ia melipatnya dengan rapi, dan barulah matanya kembali padaku.
“Kamu pernah bilang dulu, kalo warna kesukaan kamu pink. Inget boneka kamu yang bajunya warna pink, yang nggak sengaja kubikin kebawa ombak?”
Pelan-pelan Kama mengeluarkan sebuah payung yang masih baru dari tasnya. Warnanya merah jambu.
“Gue lebih suka yang hitam,” kataku perlahan.
Kama menggoyangkan jarinya dengan jenaka. “No, no, no. Orang cantik wajib pake warna pink. Nih, pake biar nggak item.”
Dilingkarkannya jemariku pada pegangan payung itu. Merah jambu, cocok dengan pantai ini.
Kutatap Kama, cinta pertamaku dua belas tahun lalu.
I’m coming home, just to die, Kama. Buat apa peduli soal yang lain? Buat apa lo peduli lagi?”
“Ssshh.”
Tangan Kama merengkuh wajahku. Sentuhan pertama seorang pria selama bertahun-tahun, yang memiliki arti.
You’re coming home to live again, Sena.”
“Cuma berapa bulan. Atau mungkin satu tahun, kalo gue sangat beruntung. Hidup macam apa itu, Kama?”
Kama tersenyum. Hidup yang bahagia. Bersama aku.
Dan di bawah payung merah jambu, dengan kaki kami memijak pasir merah jambu, ia menciumku.
TAMAT