Perempuan yang Berbicara Pada Matahari

matahari-dikelilingi-pelangisumber

Jika kau menengok ke balik gerbang kelabu tinggi itu, ke arah bangku putih di sisi sebatang pohon mangga yang nyaris gundul dan sejak ditanamnya tak pernah berbuah, kau akan melihatnya.

Perempuan itu duduk di sana setiap tengah hari, tepat saat matahari sedang tinggi-tingginya. Dia duduk diam, tanpa membawa buku atau apa pun, membiarkan tubuhnya dibakar surya, bahkan terkadang sengaja mengulurkan kulit lengannya yang telanjang di bawahnya. Aku pernah bertanya padanya, apa dia tidak takut hitam? Tidak takut wajahnya kusam? Perempuan itu hanya memandangku dengan sorot mata yang seolah berkata, “Kau ini bodoh sekali.”

Jika kebetulan hari hujan, barulah perempuan itu tak akan muncul.

Seolah duduk memanggang diri tak cukup, perempuan itu punya ritual lain: berbicara. Ia akan menyandarkan tubuhnya di kursi, memayungi kedua matanya dengan satu tangan, menghadap ke arah matahari, dan bicara. Bicara, bicara, dan bicara. Kadang kau bisa mendengarnya bercerita tentang hal-hal kecil yang tak tentu arah – di antara cerita-cerita kecil itu, ia akan tertawa. Kadang dia akan membacakan puisi-puisi yang tampaknya dihafalnya mati, dengan lirik yang sebagian disenandungkannya. Kadang matanya akan berkaca-kaca, lalu bibirnya yang tebal dan gelap (mungkin karena rokok) akan bergetar saat ia membisikkan kata-kata yang tampaknya berenang-renang dalam kolam air mata – air mata yang selalu menolak untuk betul-betul turun di pipinya.

Aku tak pernah melihat perempuan seperti itu – yang tampak begitu hidup saat bicara pada matahari, namun sepucat dan sehening mayat bila berhadapan dengan manusia lain.

Lalu hal-hal menyedihkan mulai terjadi padanya. Perempuan itu masih selalu duduk di bawah matahari dan berbicara, namun dunianya seolah sedang terjungkir balik. Tak ada lagi kisah-kisah tawa, tak ada lagi puisi, bahkan tak ada lagi air mata yang menolak turun. Yang ada hanya amarah. Perempuan itu akan duduk, menantang matahari dengan wajahnya, lalu menyemburkan kata-kata pahit dan luka sembari mengacung-acungkan lengannya yang kurus. Satu hari, dua hari, tiga hari, empat hari hal itu berlangsung.

Namun hari kelima, keenam, hingga ketujuh, ombak yang meradang itu akhirnya mereda.

Mereda, namun menjadi kabut yang bergulung-gulung mencekik. Untuk pertama kali sepanjang aku mengamatinya, perempuan itu menangis. Tangisnya mengalir tak henti-henti seperti anak sungai di penghujan. Tangis yang masih saja ditujukannya pada matahari, dalam diam.

Kata orang, malam itu Ra meninggal. Kata orang, perempuan itu menangisi Ra.

Ya, Ra memang meninggal. Lelaki berkulit legam itu akhirnya menyerah, setelah entah berapa bulan terlelap dalam koma.

“Tapi bukan kematiannya yang menyiksaku,” bisik perempuan itu, saat ia menunjukkan padaku tempatnya biasa berdiri di balik jendela kamar rawat Ra. Perempuan itu menunjukkan padaku betapa sinar matahari siang terpantul di kaca jendela itu, membuat bantal Ra – dan mungkin dulu wajahnya – seolah bercahaya.

“Lalu apa?” tanyaku.

“Ketidaktahuan,” bisik perempuan itu. “Pernahkah kau memiliki begitu banyak pertanyaan, begitu banyak gumpalan perasaan, begitu banyak kerumitan dan jejak-jejak dalam kepalamu, dan tak ada yang sudi memberimu jawaban?”

Aku menatap perempuan itu, saat ia bergerak menuju bangkunya, lalu menengadah menatap matahari.

“Pertanyaan tanpa jawaban membunuhmu lebih cepat dari cinta,” bisiknya.

Aku ikut memandang matahari bersama perempuan itu. Kubayangkan, ia berbicara pada matahari. Matahari yang bersinar tanpa suara, lebih hening dari Ra yang namanya bercahaya.

untuk D

*) Ra adalah nama dewa matahari dalam kebudayaan Mesir kuno.
*) Bagian dari trilogi matahari bersama tulisan @Ikafff (Perempuan Penyuka Matahari) dan @vandakemala (Perempuan yang Ingin Dipeluk Matahari)

 

5 thoughts on “Perempuan yang Berbicara Pada Matahari

  1. Tulisannya kakak menyentuh hati, nih, jadi keinget sama ingatan masa lampau.

    Aku jadi terinspirasi dengan tulisannya kakak, aku pingin cari pembimbing yang punya skill sebagus cerpen ini untuk bantu aku membangun ketrampilan menulis. Tolong, yah, kak.

    Aku baru aja bikin proyek web series di http://www.kludia.com
    Tapi aku belum tahu apa karyaku itu sudah layak baca atau belum.

    Kontak tweeter: @angryludian (aku udah follow kakak duluan)

    Tolong bantu yah, kak.
    Demi perkembangan pasar literasi kita, bangsa Indonesia.

    • Wah, makasih banyak ya udah baca tulisanku. Aku masih amatir, kok, belum sampai mana-mana juga tulisannya, jadi kurasa aku nggak kompeten kalau harus jadi semacam pembimbing atau mentor. Yang paling bisa kulakukan ya kasih masukan-masukan aja, itu juga belum tentu bener hehe.

Leave a reply to the13thversifier Cancel reply