Bude Nar Keramas Malam Ini

Bude Nar berjanji : malam ini, dia akan keramas.
“Memangnya itu masalah besar?” katamu. Tak habis pikir kau, apalah hubungannya persoalan ini dengan rapat keluarga besar yang sebetulnya tak ingin kauhadiri.
Di tengah ruangan, Bude Nar berdiri. Rambut panjangnya hitam legam, tergerai tanpa halang. Ujungnya sampai di pinggulnya, bergerak-gerak karena angin dari jendela. Lebih menggetarkan dari iklan sampo mana pun.
Mata Bude Nar bagai tancap dalam, meniti satu-satu tatap setiap anggota keluarganya.
“Bertahun-tahun aku dipermalukan,” bisiknya lirih. “Sekarang, saatnya aku melepaskan.”
Samar-samar, kau jadi teringat. Dulu, di suatu malam bulan bulat, ada rapat keluarga begini juga. Budemu ini pula yang berdiri di tengah lingkaran. Namun kali itu, perutnya membuncit. Rambutnya tergelung, airmatanya berkilau-kilau, cincin kawinnya baru dilepas paksa. Saat itu kau masih seumur jagung, hanya garuk–garuk kepala sementara Bude Nar meraung-raung penuh nestapa.
Samar.
Ah, sudahlah. Kau menguap lebar, lalu izin pulang segera. Malam itu kau tidur nyenyak.
Pagi. Ah, pandanganmu belum fokus. Samar-samar, siluet tubuh seorang perempuan masuk ke otakmu.
“Bude… Nar?” bisikmu. “Rambut Bude… kenapa?”
Perlahan-lahan, perih tajam di perutmu mulai terasa. Perih yang basah. Kau lihat budemu tersenyum, rambut panjangnya berdarah.
Lalu kau pun teringat kibasan rambut itu dulu, seiring gerak panggulmu di antara kaki pemiliknya.

*) Terinspirasi oleh sumpah Drupadi, istri Pandawa, untuk berkeramas dengan darah Dursasana yang telah mempermalukannya.
*) Ditulis untuk ajang #CERMIN bulan Januari 2014 dari akun Twitter penerbit @bentangpustaka