[#MFF Prompt #41] Cinta Buta

Orang mendzalimi ungkapan “cinta itu buta” dengan definisi-definisi mereka sendiri. Mereka abai pada bagaimana rasanya jadi orang buta yang jatuh cinta. Jangan kau kira cinta hanya mahligai untuk kau yang bertatap saja, yang lalu mabuk kepayang dengan apa yang kautatap itu. Aku pun bisa jatuh cinta membuta-buta, meski aku berstatus orang buta.

Ya, aku bisa jatuh cinta membuta-buta meski statusku orang buta. Aku ini jatuh cinta pada Mas Pur, preman memble yang saban hari kerjanya berjongkok dekat gardu ronda, menimang-nimang botol minuman oplosan berwarna butek. Lha, aku tahu dari mana? Dari suara gerombolan anak kampung ingusan yang suka berdendang-dendang mengejek orang, lalu lari terbirit-birit jika orangnya marah. Belakangan ini, mereka sering menyanyi begini, “Si Marni dan Si Pur, bergandengan tangan, berguling-gulingan, di pematang sawaaaaah….” Mulanya aku marah, mengambil batu apa saja yang teraih, dan mengancam akan melempar. Tapi, lama-lama, sesuatu yang aneh mulai terjadi padaku.

Aku tak bohong; ada yang aneh padaku. Tiap mendengar nama Mas Pur, bulu kudukku berdiri semua. Kedua pahaku merapat dan merepet, seperti ekor anjing jantan yang gelisah di musim kawin. Dalam gelap mataku, imaji-imaji berseliweran, gambar-gambar, adegan-adegan yang entah dari mana asalnya. Seolah dalam kepalaku ini tumbuh bentuk manusia yang menjelma lelaki, lelaki yang kuberi nama Mas Pur, lelaki yang kuciptakan bersama-sama pematang sawah, lalu betul-betul kuajak bergulingan. Tiap kudengar nama Mas Pur, ia menjelma serupa dewa.

Ya, Mas Pur menjelma dewa. Atau mungkin genderuwo, yang suka datang malam-malam untuk menggauli istri orang. Siang-siang, anak-anak itu berdendang. Malam-malam, aku belingsatan. Dan pagi-pagi, aku muntah-muntah dengan badan meriang.

Diawali muntah pagi dan badan meriang itulah, aku mulai mencari-cari. Dan aku mulai mengumpulkan bukti-bukti. Jika kuperhatikan baik-baik, dendangan anak-anak kampung ingusan mulai berubah. “Si Marni dan Si Pur, bergandeng-gandengan, berdua-duaan, kawin lariiiiii….” Jika kuperhatikan juga, meski setiap malam telah dikunci baik-baik, di pagi tiap Jumat saat aku bangun, gembok pagar rumahku selalu sudah terbuka paksa. Masih ada lagi; jika aku mandi, kuperhatikan lingkar pinggangku; rasa-rasanya makin hari makin lebar saja.

Gusti, apa arti dari pinggangku yang melebar dan semua yang lain-lainnya ini? Bayangan Mas Pur bertelanjang dada melintas di otakku. Bayangan kami bergelut dan bergulat melintas di kepalaku. Apakah itu artinya dia, lelaki yang kujatuhcintai meski aku buta, telah memilihku sebagai rahasia pribadinya yang hanya kami yang tahu?

Mungkin memang hanya kami yang tahu. Mungkin ini rahasia kelas kakap buat kami saja. Soalnya, suatu pagi, muncul banyak orang di depan rumahku. Mereka berpakaian putih, dan membawa  dokumen yang tercantum namaku. Terang aku menolak. Kukibaskan tanganku. Aku lari. Lari ke segala sudut rumah. Ke sana, ke sini. Tapi aku dipojokkan. Lengan kakiku diikat. Badanku diusung. Di tengah jeritanku yang tak keruan, bayangan Mas Pur berkelebat. Lalu sebuah suara yang kukenali sebagai Pak Lurah berkata, “Marni ini sudah dipasung di kandang ini lima tahun, Dok. Kasihan dia, disiksa suaminya, digebukin, dibikin keguguran, disiram Baygon sampai buta. Terus Purwanto gendheng itu malah masih bebas keluyuran. Marni jadi gila, ya ndak ada yang lapor polisi. Tiap malam aja kedengaran suaranya manggil-manggil suaminya…. Kasihan, Dok, biar gila, ternyata dia masih cinta….”

****

Berdasarkan fiksimini dari Harry Irfan :
CINTA ITU BUTA. “Sama pemuda pemabuk itu? Gila kamu!” | “Maka dari itu, Yah. Siapa lagi yang mau sama orang gila, selain pemabuk.”

*) 499 kata, tidak termasuk judul dan catatan kaki ini.
*) Ditulis untuk Monday Flash Fiction Prompt #41 : Cinta

12 thoughts on “[#MFF Prompt #41] Cinta Buta

Leave a comment